TIPUKA: Orang Kamoro Mampu Beradaptasi Dengan Tailing Freeport……..(6)


Orang Tipuka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Tapi tak seoramg pun akan bersuara, apalagi memberontak. Banyak label bisa membawa mereka hingga penjara dan pemakaman. Beradaptasi dengan tailing jadi pilihan. Seperti lagu de bilang “ko diam, ko aman”.

Oleh Pietsau Amafnini

Orang yang berada di luar wilayah kabupaten Timika, bahkan orang yang berada di luar Tanah Papua selalu beranggapan bahwa manusia di daerah tempat beroperasinya PT Freeport Indonesia hidup mewah, kaya-raya dan berkelimpahan. Tidak hanya pada masyarakat biasa, tetapi juga pemerintah pun beranggapan demikian. Namun yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, bahwa dimana ada perusahaan besar di sector pertambangan, tentu banyak masalahnya, bahkan masyarakat adat setempat selalu bernasib buruk. Selebihnya saya ingin memberitahu anda bahwa daerah dimana terdapat banyak kekayaan sumberdaya alam pasti jadi rebutan, dan tempat di mana ada perusahaan pertambangan emas dan lain sebagainya, pasti banyak masalah seputar kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Masalah pokok di sekitar lokasi tambang PT Freeport adalah pembuangan tailing yang langsung ke sungai dimana sungai adalah wilayah hidupnya masyarakat adat setempat. Kampung Tipuka berada di dataran rendah, muara sungai. Itu artinya mereka yang paling menanggung resiko atas kerusakan alam dan sumber penghidupan mereka. Sedih. Sementara banyak orang di luar Papua selalu bangga dengan perhiasan emas yang dibelinya dari toko perhiasan. Sedangkan orang asli Papua yang memiliki tempat dimana emas itu digaruk, justru bernasib buruk karena harus berjuang untuk hidup beradaptasi dengan limbah tailing dari Freeport sejak lahir. Belum masalah lainnya seperti tekanan, intimidasi dan terror berdimensi hak asasi manusia.

Setidaknya ada sebanyak sembilan sungai di muara yang mengalami pendangkalan. Kesembilan sungai itu antara lain: Sungai Ajikwa, Sungai Moare, Sungai Wania, Sungai Atuka, Sungai Ipa, Sungai Kekwa, Sungai Kokonao, dan Sungai Otakwa. Pendangkalan sungai menyebabkan kualitas air menurun dan mencemari potensi hidupan perairan sungai. Dampak-dampak akibat pendangkalan yang terjadi sekarang ini adalah ikan-ikan di sungai cepat busuk, sungai sudah tidak dapat dilayari oleh perahu motor. Pasalnya, tailing hasil produksi berasal dan penambangan terbuka di Grasberg dan penambangan bawah tanah di wilayah timur tambang terbuka Ertsberg yakni di Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone(DOZ). Timbunan limbah terlihat pula di sekitar lubang tambang terbuka di lembah Cartenz, Grasberg Barat dan Lembah Wanagong. Seluruh proses penambangan hingga pemisahan logam-logam yang bernilai ekonomis itu ternyata lebih banyak memproduksi pula limbah tailling.

Tantangan bagi masyarakat adat pemukim di daerah-daerah muara sungai adalah harus beradaptasi dengan kondisi terkini dimana ruang hidup dan sumber penghidupan mereka menjadi rusak akibat tailing. Setidaknya pemgalaman masyarakat adat suku Kamoro di Kampung Tipuka Mimika Timur ini menjadi salah satu fakta kehidupan yang menyedihkan di Lingkungan Industri PT Freeport Indonesia yang selalu dibanggakan oleh Pemerintah Indonesia. Berbagai macam resiko dampak tailing itu harus ditanggung oleh mereka selama sepanjang setengah abad ini. Tidak hanya urusan limbah tailing, tapi sejak awal keberadaan Freeport dan Indonesia di wilayah adat Kamoro dan Amungme di Timika, masyarakat adat setempat pun harus menanggung berbagai tekanan, intimidasi dan terror hingga kekerasan berdimensi hak asasi manusia. Bila mereka bersuara untuk meminta keadilan, mereka pun gampang dituding sebagai penghambat pembangunan dengan label separatis dan teroris yang pada akhirnya berujung pada penjara dan pemakaman. Seperti lagu kekinian dari anak-anak Papua sendiri bilang: “Ko diam, ko aman” (kau diam, kau aman), maka mereka pun memilih beradaptasi dengan tailing Freeport yang sudah merusak ruang sumber penghidupan mereka.

Mungkin saja banyak orang pintar yang melakukan penelitian di sana, belum lagi penelitian yang difasilitasi oleh perusahaan dan pemerintah. Mereka tentu melaporkan hal yang baik-baik saja, bahkan semakin berusaha untuk meyakinkan masyarakat umum, bahkan khusus bagi masyarakat adat setempat bahwa limbah tailing tak beracun. Namun, masyarakat adat Kamoro yang hari-hari hidupnya berada bersama ruang hidupnya di kampung Tipuka justru berpendapat lain. Saya lebih percaya mereka, karena merekalah yang merasakan itu dari hari ke hari, bahkan generasi berganti generasi. Bagi mereka, limbah yang mencemari sungai sudah sangat berpengaruh pada biota air sungai, sehingga mereka selalu akan bilang bahwa hasil tangkapan ikan harus segera dimasak karena kalau terlambat akan cepat membusuk. Ya, pernyataan orang sederhana tentu bertolak pada kenyataan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari, bukan seperti para peneliti yang datang sesaat dan pergi selamanya.

Seperti yang saya sudah ulas pada serial-serial sebelumnya bahwa masyarakat adat suku Kamoro di Tipuka pada umumnya berprofesi nelayan tradisional. Wilayah adat bahkan ruang hidup mereka adalah dataran rendah dimana mereka bergantungkan hidup pada potensi alam yang ada di hutan mangrove, hutan sagu, dan muara sungai. Dalam hal ekonomi, memang masyarakat Tipuka merupakan komunitas masyarakat yang relatif tertinggal. Ya, tidak hanya tertinggal secara ekonomi, tetapi juga sosial, dan budaya. Tidak berarti bahwa Freeport berada di wilayah mereka, terus semua orang di sekitarnya jadi makmur. Bahkan jika kita kembali membuka lembaran sejarahnya perjuangan masyarakat adat suku Kamoro dan Amungme menuntut keadilan terkait keberadaan Freeport sepanjang 50-an tahun, sangat menyedihkan.

Emas dan tembaga yang digali dari tanah Amungsa dan dibawa ke Amerika atau entah kemana rimbanya, ternyata meninggalkan limbah tailing yang telah merusak dan menghancurkan kehidupan manusia di sekitar wilayah operasi perusahaan itu. Keadaan alam yang sudah tercemar limbah tailing dari PT Freeport Indonesia menambah beban dalam mata pencaharian sebagai nelayan dengan berkurangnya hasil tangkapan ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, dan rendahnya sumber daya manusia karena kurangnya perhatian dari perusahaan dan juga pemerintah di sisi lainnya. Di kampung Tipuka, sebagian besar penduduknya hanya lulus sekolah dasar, bahkan tidak sempat tamat sekolah dasar. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Pada serial sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Tipuka adalah komunitas nelayan tradisional yang tidak bisa hidup tanpa sagu, perahu dan kali (sungai). Beberapa kaum muda pernah mencoba untuk bekerja di kota, tetapi tidak satu pun diterima di toko, hotel atau rumah makan. Setidaknya mereka sudah mencoba untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak seperti orang-orang pendatang yang memadati kota Timika. Tetapi nasib anak-anak muda itu tidak beruntung, apakah karena mereka tidak dipercaya atau karena mereka tidak mempunyai keahlian tertentu? Ya, setidaknya tukang sapu tidak mengharuskan lulusan sarjana ilmu kebersihan lingkungan. Sedangkan di Freeport, hanya beberapa orang yang bekerja di sana, tetapi bukan pengurus kantor perusahaan.

Ya, mereka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Mungkin ini hanya sebuah harapan yang tak pasti, tetapi sebagai komunitas adat nelayan tradisional, mereka tentu ingin tetap menjaga kelestarian alam yang yang menjadi sumber penghidupan mereka, sekaligus tetap melestarikan budaya warisan leluhur mereka. Sebab, Freeport bukan milik mereka.

Namun terdapat sesuatu yang menarik di kampung Tipuka dan bisa menjadi pelajaran bagi semua orang di dunia. Apakah itu? Anda membayangkan betapa hebatnya orang Kamoro di kampung Tipuka yang sudah 50-an tahun hidup di daerah muara tailing Freeport. Mereka mampu beradaptasi dengan masalah tailing itu. Mereka sanggup bertahan hidup dalam situasi berbagai tekanan fisik dan psikis. Mereka sanggup menahan diri untuk tidak memberontak melawan penyebab pencemaran sungai yang menjadi sumber penghidupan mereka. Mereka sanggup untuk tetap tinggal menetap di wilayah adat warisan leluhur. Singkatnya, orang Kamoro sanggup menanggung semua resiko sejak awal keberadaannya Freeport dan Indonesia di wilayah adat mereka. Apa sih resepnya? Mungkin saja rahasianya adalah “Ko diam, ko aman”. Selamat datang di kampung Tipuka. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Orang Kamoro Hidup Tertekan Di Tanah Leluhur Sendiri…….(5)


Sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu.

Oleh Pietsau Amafnini

Tidak ada harapan yang lebih dari hidup saat ini. Bagi masyarakat adat, yang terpenting adalah mereka bisa hidup nyaman di wilayah adat mereka. Masyarakat adat dapat memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya dengan memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya. Tetapi seperlunya. Bila memungkinkan, mereka akan menjual sebagian dari hasil usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya termasuk pendidikan anak-anak mereka. Namun yang utama adalah mereka mencari untuk makan. Hutan, sungai dan laut adalah ibarat “ibu kandung” bagi mereka. Sehingga sulit untuk menjauhkan pola hidup mereka dari potensi alam yang ada di wilayah adat mereka.

Berbeda dengan masyarakat ekonomi modern yang cenderung tamak dan rakus. Apapun yang diinginkan, dikuras sampai habis. Mereka mengejar banyak hasil untuk sebuah tujuan, kaya raya. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pedagang, tetapi juga pada masyarakat peramu modern seperti peramu modern, nelayan modern, pemburu modern hingga para mafia kayu merbau yang selalu disebut mafia illegal logging. Bahkan pada dunia modern ini, perilaku kerakusan ini nampak pada penyerobotan tanah-tanah adat dalam skala sangat luas untuk kepentingan investasi perkebunan sawit dan pertambangan. Mungkin salah satu contoh nyata yang telah lama dihadapi masyarakat adat Suku Kamoro di kampung Tipuka adalah kehadiran PT Freeport Indonesia.

Masyarakat ekonomi modern di Tanah Papua tidak terlepas dari keberadaan kaum migran yang sejak awal pasca integrasi paksa Papua ke dalam wilayah Indonesia “didudukkan sebagai wajah Indonesia” melalui program transmigrasi nasional. Adapun kaum migrant spontan yang datang sebagai “perantau” secara individual untuk mencari hidup di Tanah Papua setelah terbentuknya komunitas-komunitas urban di pusat kota provinsi maupun kabupaten. Lambat laun, kota-kota kecamatan hingga kampung-kampung pun tidak luput dari incaran kaum migran. Salah satu penyebab melonjaknya kaum migran di Tanah Papua adalah “menjamurnya investasi sektoral” yang telah membagi-bagi Tanah Papua seperti “kue”. Nah mengapa begitu banyak orang dengan perilaku tamak menjamur pula di Tanah Papua? Ya, mencari hidup lebih baik dengan memanfaatkan peluang “ekonomi modern” yang secara terstruktur dikerahkan oleh negara sebagai strategi “pendudukan” di Tanah Papua. Sementara masyarakat adat yang masih berharap sepenuhnya pada kekayaan sumberdaya alamnya sebagai sumber penghidupan justru semakin tak pasti nasibnya. Mereka terus tersingkir, bahkan tergeser dari tanah leluhur mereka sendiri.

Memang, tak dipungkiri jika ekonomi modern tidak dapat terlepas dari akses pasar, dunia dagang. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat adat Papua yang sebenarnya masih dalam tahap penyesuaian diri dalam hal kebudayaannya. Mereka seakan-akan dibingungkan dengan berbagai macam wajah masyarakat urban Indonesia dalam bentuk “pasar dan toko”. Di sisi lain mereka dipaksa secara terstruktur untuk meninggalkan tradisi hidup sebagai peramu hasil hutan dan nelayan tradisional melalui penyerobotan tanah-tanah adat warisan leluhur mereka atas nama pembangunan untuk permukiman, perkotaan dan lahan investasi.

Dalam hal akses pasar, hal ini yang perlu didorong dan difasilitasi agar masyarakan terbiasa dengan dunia ekonomi modern dimana pasar memegang peranan penting. Orang-orang berbudaya pedagang seperti Bugis, Makassar dan Jawa di Tanah Papua justru lebih banyak menguasai dunia dagang di pasar-pasar kota. Kita bisa lihat dari tampak fisik sosial kehidupan di sana. Kondisi ini memang terbentuk oleh sistem ekonomi modern itu sendiri. Sistem itu pun tercipta dari kebiasaan masyarakat ekonomi modern yang memposisikan diri secara terstruktur dalam hal alur perdaganga. Produsen – Distribusi – Konsumen. Distribusi dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu sistem kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Dalam prosesnya, distribusi diidentikkan dengan pemasaran. Pemasaran sendiri juga bisa dalam arti bekerja sama dengan pasar atau mencari manfaat dengan cara kerjasama dengan pasar. Sebab, memang hubungan kerjasama dalam dunia dagang akan dapat berlangsung selama jika keduanya merasa dapat diuntungkan. Oleh sebab itu diperlukan komunikasi dua arah yang efektif, sehingga kemungkinan merugikan satu sama lain dapat diantisipasi. Hal ini lambat laun berkembang menjadi suatu budaya dalam kehidupan sosial dimana “ada barang, ada uang; ada uang, ada barang”.

Nah dengan melihat kondisi di atas, adakah sesuatu yang menarik? Tentu, uang dan uang atau modal yang selalu menjadi tolak-ukurnya. Masyarakat ekonomi modern yang dalam hal ini kaum migran atau urban kota akan memulai usahanya dengan modal yang cukup, bukan sekedar nekat. Tidak hanya di dunia dagang di pasar-pasar kota, toh banyak investor perkebunan sawit dan juga perusahaan kayu juga mendapatkan banyak kemudahan soal modal usaha dari negara dan perbankan. Mereka tahu dari mana harus mendapatkan modal usaha, misalnya akses modal pinjaman dari bank, atau bahkan modal dari negara. Hal ini tentu tidak berlaku untuk seorang petani tradisional dan nelayan tradisional, apalagi peramu hasil hutan dan pemburu hewan liar. Justru mereka hidup tertekan bahkan terasing di tanah leluhur sendiri.

Masyarakat nelayan tradisional di kampung Tipuka bernasib tak beruntung dalam hal dunia usaha-ekonomi modern. Kurangnya modal usaha, membuat mereka selalu kalah bersaing dengan para nelayan migran yang melakukan penangkapan menggunakan kapal dan peralatan modern, hingga penggunaan pukat trawll. Pola penangkapan ikan secara tradisional dengan peralatan seadanya, terkadang membuat nelayan suku Kamoro merugi, bahkan memang mereka mencari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini. Selain itu, teknik pengawetan ikan yang belum memadai sehingga belum sampai di pasar atau di tangan konsumen, ikan sudah busuk di tangan sendiri dalam perjalanan menuju pasar. Belum lagi jarak antara kampung Tipuka yang jauh dari pasar kota Timika menjadi salah satu faktor pendukung membusuknya ikan hasil tangkapan masyarakat ekonomi tradisional tersebut.

Melihat kondisi seperti di atas, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas salah satu faktor penyebab kesenjangan sosial dalam kehidupan Orang Tipuka di tengah kemajuan masyarakat urban kota Timika? Sebuah sumber menyebut bahwa pada tahun 2006, ada kepedulian dari PT Freeport Indonesia melalui program Social Local Development (SLD) bekerjasama dengan Keuskupan Timika untuk memberdayakan nelayan tradisional suku Kamoro yang menetap di sekitar daerah endapan tailing. Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan, penyediaan bahan bakar minyak, sembako, balok es batu yang dikelola oleh Koperasi Maria Bintang Laut Kamoro.

Program SLD ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan tradisional suku Kamoro lambat-laun mulai merubah kebiasaan dari budaya meramu, mengelola hasil laut dan sungai untuk keperluan konsumtif, menuju usaha ekonomi produktif – menuju masyarakat ekonomi modern. Benar, dan luar biasa tujuannya. Namun pada saat yang sama, masyarakat adat suku Kamoro juga sudah memulai kehidupan baru dalam mengelola hasil laut dan sungai dengan cara, alat dan tujuan baru. Bila sebelumnya mereka bermodalkan perahu dayung di sungai dengan jala dan nelon seadanya untuk sekedar mencari untuk makan sendiri, maka sekarang dan ke depan mencari dengan perahu motor tempel untuk mendistribusikan hasil tangkapannya ke pasar atau masyarakat konsumen di kota Timika. Mereka harus berusaha untuk bersaing dengan masyarakat migran yang memang sudah terbiasa dengan sistem kerja ekonomi modern.

Hmmm, apa yang dilakukan Freeport dengan program SLD di atas memang patut dihargai sesbagai sebuah upaya positif untuk memajukan orang Tipuka menjadi masyarakat ekonomi maju. Namun sangatlah disayangkan bila program ini terlaksana hanya sebagai cara menutupi ketamakan dan kerakusan Freeport Indonesia sendiri yang telah mengeruk hasil alam berupa emas dan tembaga di wilayah adat orang Kamoro dan Amungme. Toh akibat penambangan Freeport di Grasberg ini telah menyebabkan sungai-sungai disekitarnya tertimbun pasir tailing. Sungai-sungai menjadi dangkal, bahkan kering. Orang Kamoro di kampung Tipuka sendiri sudah kesulitan dalam mencari ikan di sungai karena tailing. Bahkan masyarakat Tipuka sendiri menyatakan “sekarang ikan cepat busuk karena racun dari tailing”.

Sebuah pemandangan indah, semakin terbuka dan meluas di sepanjang tepi sungai hingga muara-muara sungai. Pasir tailing. Luapan tailing dan sedimentasi yang terus menerus terjadi selama limapuluhan tahun sudah tentu memutuskan mata rantai makanan mereka, bahkan turut menghancurkan budaya mereka pula. Apakah Freeport dan Pemerintah Indonesia bermaksud menciptakan ketergantungan baru bagi orang Kamoro di kampung Tipuka terhadap kehadiran dan bantuan program SLD dari perusahaan yang bekerjasama dengan Gereja Katolik saat ini? Bagaimana jika suatu waktu program ini terhenti dengan alasan tertentu? Ataukah program SLD ini adalah bagian dari “penenang hati yang terluka” akibat kehancuran ruang sumber penghidupan mereka yakni sungai-sungai yang tertimbun dan tercemar limbah tailing dari tambang Freeport Indonesia? Atau memang ini bagian dari scenario “pendudukan” dimana Negara dan Investor “menguasai, merampas dan menghancurkan” apa yag menjadi hak masyarakat adat Suku Kamoro termasuk kebudayaannya?

Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa dalam kenyataannya, kegiatan ekonomi rumah tangga bagi keluarga orang Kamoro di kampung Tipuka justru dalam kondisi “tidak baik-baik saja”. Sehingga sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu. Toh sejarah hidup mereka membuktikan bahwa Suku Kamoro bukan Orang Penambang, tapi peramu dan nelayan tradisional. Namun kini, rantai kehidupan itu sudah nyaris terputus karena Limbah Tailling dari perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia bahkan dunia. Semoga mereka tidak pernah akan merasa “terasing di negeri sendiri” karena tekanan kebijakan negara, kerakusan investor hingga ketamakan masyarakat ekonomi modern. Semoga suatu saat nanti, generasi penerus Suku Kamoro di kampung Tipuka dapat berucap bahwa benar “mereka tertolong, bukan tertipu”. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Tiada Aktivitas Tanpa Ritual………(4)


“Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.”

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole. Masyarakat adat selalu memperlakukan alam sebagai sumber penghidupannya dengan sopan dan bijak. Ritual sebelum dan sesudah mencari ikan adalah bagian dari kearifan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kamoro di kampung Tipuka. Mereka tidak sembarangan. Setiap hendak meramu, berburu dan mencari ikan juga selalu didahului dengan ritual khusus. Menghormati alam sesuai ajaran dan warisan budaya leluhur. Hutan, sungai dan laut adalah tempat mencari nafkah sehingga perlu dijaga dan dihormati agar selalu tersedia apa yang dibutuhkan oleh manusia. Mengambil hasil pun tidak melebihi kapasitas kebutuhan.

Orang Kamoro di kampung Tipuka masih berpegang teguh pada kebiasaan leluhur mereka. Sebagai nelayan tradisional, mereka selalu memperhatikan pentingnya ritual sebelum melakukan aktifitasnya di sungai maupun laut. Ritual ini disebut ereka-oto. Seorang nelayan tradisional di Tipuka tidak akan melewatkan itu. Wajib. Bila mencari untuk tujuan hajatan atau acara-acara besar, berarti dibutuhkan keterlibatan banyak orang dan juga seorang tua adat yang khusus untuk melakukan ritual ini. Tokoh ini disebut Mikuku. Di rumah atau di sungai, seorang Mikuku akan melaksanakan ritual tersebut. Sedangkan jika seseorang yang hendak mencari ikan untuk kebutuhannya sendiri dapat melakukan ritualnya sendiri.

Sebelum melakukan ritual tersebut, terlebih dahulu disiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan seperti daun mangi-mangi atau tali rotan, alat tangkap, sirih pinang, rokok atau tembakau. Jika semua sudah disiapkan, Mikuku akan memulai upacara ritualnya dengan berteriak: “Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.” Mikuku menyebut nama semua sungai dan tempat yang biasa digunakan untuk mencari ikan dan memerintahkan agar ikan-ikan berkumpul di sana dalam jumlah besar. Sesudah itu Mikuku pun berkata lagi kepada matahari dengan memperlihatkan alat-alat tangkap yang akan digunakan sambil memohon cuaca yang baik dan hasil tangkapan yang melimpah.

Setelah itu para nelayan tradisional itu sudah boleh menyiapkan peralatan melaut kemudian pergi mencari ikan. Syarat lainnya adalah mereka tidak boleh pamitan kepada anak, istri dan seluruh penghuni rumah. Karena jika pamit mereka percaya bahwa sesuatu akan menimpa mereka pada saat mencari ikan bahkan sampai tidak akan pulang kembali ke rumah.

Sesampainya di laut atau tempat yang menjadi sasaran untuk menjaring, mereka mengambil bahan sesajian berupa adonan yang telah disiapkan. Sesajian tersebut dibuat dari sagu mentah dicampur dengan daun mangi-mangi dan ditumbuk lalu diaduk sampai hancur di dalam wadah kemudian ditambah air dan diaduk-aduk lagi sampai merekat. Adonan tersebut dihambur di tempat sekitar tempat untuk memasang jaring. Sambil mengucapkan “oto erkata” sebagai cara memanggil atau mengundang ikan. Cara ini dilakukan untuk mengundang ikan supaya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Ada pun cara lain untuk perorangan yakni menyiapkan tembakau atau rokok yang akan dibuang sebagai persembahan di tempat menjaring dengan mengatakan “prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete, ini ada rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-anak”. Cara ini dilakukan masyarakat dengan anggapan bahwa pemilik wilayah laut dan sungai akan senang dan memberikan imbalan hasil tangkapan yang cukup banyak.

Agar tidak terhambat dengan cuaca seperti angin dan hujan, mereka pun mempunyai cara tersendiri untuk menjauhkan hujan atau tepatnya meminta cuaca yang baik dari alam yang disebut “innulia”. Seseorang akan melakukan innulia untuk mengusir atau menjauhkan hujan dari tempat mereka mencari ikan ke bagian lain.

Sebagai masyarakat yang masih mempercayai peran roh nenek moyang mereka dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga tidak lupa menyertakan campur tangan leluhur untuk keselamatan dalam perjalanan mencari ikan maupun urusan penangkapan ikan supaya mendapatkan hasil yang banyak. Mereka akan selalu berucap, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” yang mengandung arti: tete’ nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring kami.

Sebagai nelayan tradisional tentu  hanya berbekal pengetahuan dan peralatan tradisional yang sederhana. Metode yang digunakan untuk menangkap ikan yang terdiri dari tangkap tangan dalam hal ini menangkap kepiting, siput, dan jenis lain di hutan mangrove, tombak, jaring, kalawai, rawai mancing dan jebakan ikan.

Masyarakat Tipuka pada umumnya mencari ikan pada malam hari yang gelap karena mereka percaya bahwa saat itu banyak hasil tangkapan ikan. Waktu yang tepat untuk menangkap ikan dalam jumlah besar untuk hajatan besar biasanya bulan September dan Oktober. Mereka sebut kedua bulan ini sebagai bulan musim ikan. Ketika mencari ikan pada musim ikan, mereka akan berada di laut sepanjang malam hari hingga jelang siang hari baru pulang membawa hasil. Ketika tiba saatnya untuk pulang, ada lagi semacam ritual yang perlu dilakukan. Sederhananya menyampaikan termakasih dengan mempersembahkan rokok atau tembakau kepada tempat atau alam dimana mereka menangkap ikan.

Bagi saya, makna dari kisah ini adalah jangan tamak dan rakus apalagi ceroboh dalam mencari nafkah di hutan, sungai dan laut. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, perlu minta izin dan berterimakasih bila sudah mendapatkan apa yang dicari. Janganlah mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan, karena masih ada hari esok dan juga saudara lain yang juga membutuhkannya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Orang Kamoro dan Kehidupannya……..(3)


Nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berbeda dengan nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung dengan daya tangkap over fishing, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Suku Kamoro dan Amungme. Sebuah cerita lanjutan tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka, Tanah Papua. Ya, sebuah tempat yang memiliki nama besar untuk dunia pertambangan emas di dunia yakni Timika dimana ada Freeport Indonesia berlabel Amerika Serikat.

Kita tidak bisa menyangkal jika Tanah Papua sangat kaya akan sumberdaya alam. Saya selalu menyebut pulau besar ini sebagai ‘benua kecil’ yang ada di muka bumi. Kekayaan alamnya yang melimpah baik di darat, sungai maupun laut sungguh sangat luar biasa. Hal ini tentu berpengaruh juga pada orang-orang asli di tanah ini dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sejak dahulu kala. Orang asli Papua dalam hal ini masih sangat bergantung pada hasil hutan, sungai dan laut di sekitarnya. Sebagai komunitas adat di kampung Tipuka, orang-orang Kamoro yang mendiami dataran rendah di Mimika ini mengharapkan sumberdaya alam yang tersedia sebagai sumber penghidupan harian hidup mereka.

Meskipun PT Freeport Indonesia berada di wilayah Mimika, namun toh mereka bukanlah bagian dari pengerukan tambang emas dan tembaga itu. Mereka pun bukanlah penerima manfaat utama dari perusahaan raksasa itu. Justru yang terjadi adalah mereka menjadi korban dari keberadaan perusahaan emas ini. Sedangkan Amerika dan Indonesia sibuk rebutan hasil tambang. Dulu Amerika yang kuasai kepemilikan saham, sekarang Indonesia yang kuasai saham 51% Freeport.

Setidaknya dari sekitar 150 KK yang ada di kampung Tipuka, sebagian besar adalah petani, peramu hasil hutan, pemburu hewan liar dan nelayan tradisional. Mereka tidak bisa hidup tanpa busur-panah, kapak, perahu, sagu dan sungai. Orang-orang Kamoro di kampung Tipuka sangat bergantung pada potensi alam di wilayah adat mereka. Namun demikian, sebagian kecil bekerja sebagai tenaga buruh lepas pada perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah payung Freeport. Sedih memang, tapi apalah boleh buat. Sungai sebagai sumber kehidupan mereka pun akhirnya dirusak oleh keberadaan Freeport, karena aliran pasir tailing. Entahlah kepada siapa mereka harus mengadu, sedangkan banyak ahli datang dan pergi menyaksikan kondisi alam yang sudah rusak sejak awal pengerukan tambang emas dan tembaga di Grasberg.

Sebagian besar orang Kamoro di Tipuka adalah nelayan tradisonal. Secara umum kegiatan mata pencaharian sebagai nelayan masih bersifat tradisional. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, sederhana, tanpa modal usaha, kalaupun ada, tentu sangat kecil nilainya. Ya, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan.

Berbeda dengan nelayan modern yang mampu merespon perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi over fishing. Belum lagi orientasi nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.

Sedangkan orang-orang asli, tentu keterbatasan teknologi yang dimiliki, disamping ruang gerak nelayan tradisional yang umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan muara sungai, bahkan di sekitaran tepi pantai. Intinya, sekali melaut mereka mencari secukupnya untuk kebutuhan satu hari. Begitulah kehidupan ekonomi masyarakat adat di kampung Tipuka.

Perahu bagi masyarakat Tipuka sangat berarti dan merupakan tulang punggung untuk mengarungi kehidupan sehari-hari. Sejak turun temurun orang Kamoro sudah membuat perahu dari pohon yang cukup besar, dan pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan peralatan seadanya. Perahu bagi masyarakat Suku Kamoro dimanfaatkan sebagai sarana transportasi untuk sebuah perjalanan, baik untuk mencari hasil laut, maupun untuk mengangkut berbagai kebutuhan dari sebuah kampung ke kampung lainnya. Bentuk perahu yang khas bagi orang Kamoro adalah bentuk runcing di depan dan belakang, dengan panjang paling pendek sekitar 2 meter, ada pula yang panjangnya mencapai 5 meter. Mereka menyebut perahu dengan sebutan ‘Ku’ (perahu). Perahu ini dibuat dan diukir pula symbol-imbol tertentu dan makna yang sangat mendalam. Biasanya perahu digunakan tidak hanya untuk mencari nafkah di sungai atau laut, tetapi digunakan juga dalam upacara-upacara adat maupun jenis kepentingan lain.

Saya tidak melihat ada alat tangkap modern yang mereka gunakan. Tidak ada pukat trawl atau jaring raksasa di sana. Karena tidak mungkin pukat trawl dimuat di perahu dayung. Belum lagi yang sering terlihat mengemudi perahu dayung di sungai itu adalah kaum perempuan. Mama-mama Kamoro di kampung Tipuka biasanya mencari ikan dengan menggunakan alat sederhana untuk menangkap kepiting. Mereka sebut ‘gaegae’ dan ‘imii’ sejenis jala. Imii terbuat dari kulit batang ganemo (melinjo) yang dikeringkan dan dianyam menjadi jala. Pinggirnya dibingkai dengan rotan yang dibuat melingkar. Bahan baku jala tradisional ini pun sekarang sudah semakin sulit ditemukan, karena faktor hutan alam yang sudah tidak utuh lagi seperti dahulu kala. Tentu sekarang alat tangkap tradisional seperti itu juga sudah sulit ditemukan karena bahan baku untuk membuatnya kurang. Akhirnya tidak ada pilihan lain, mereka harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil jualan kepiting dan ikan supaya bisa membeli alat tangkap modern seperti jaring nelon dan pukat nelon. Rata-rata setiap keluarga memiliki alat-alat itu untuk bisa bertahan hidup. “kalau tidak ada jaring dan perahu, berarti makan sagu kosong tanpa ikan”, demikian ungkap mereka.

Suatu sore di hari jumat di tahun 2015, seorang bapak sibuk mempersiapkan peralatan untuk mencari di hari sabtu. Dia mengajak saya untuk merapihkan jaring tradisional yang disebut imii di serambi rumah. Dia pun bercerita bahwa imii yang dipegangnya ini bukan hanya sebuah alat tangkap, tapi lebih dari itu. Saya pun penasaran. Matanya tampak berkaca-kaca. “Kehidupan keluarga saya tergantung pada alat ini, hanya ini yang kami miliki. Grasberg bukan kami punya, Freeport juga bukan kami punya, bahkan pemerintah juga bukan kami punya”, ungkapnya. Saya pun terhanyut jauh memikirkan kata demi kata yang diungkapkan. Hmmm…., berat.

Peralatan tangkap sudah disiapkan. Sabtu pagi kami pun berdayung menuju muara sungai sambil bercerita tentang kondisi sungai yang semakin dangkal dan sempit. Konon katanya dulu kapal-kapal bisa masuk, tetapi sekarang tidak bisa lagi. Pasir tailing Freeport sudah mengubah semuanya. Saya ditanya tentang korek api, apakah ada? Tentu, seorang perokok pasti selalu bawa korek api. Saya pun diperkenalkan sejumlah alat penting yang selalu harus dipersiapkan dalam proses mencari nafkah di sungai maupun laut. Perlengkapan penting adalah Ku dan poo (perahu dan dayung), Imii (jaring), Maiti (nelon mancing), Etae (keranjang/noken ikan), Apoko (kalawai/semacam tombak), Pokari dan para (kampak dan parang). Kebutuhan lainnya adalah Uta (korek api) serta Kapaki dan amata ( rokok dan sagu).

Berdayung jauh ke muara dekat bibir pantai sekitar 1 jam dari kampung. “Di sini masih banyak ikan dan kepiting, di tempat lain ada, tapi itu orang lain punya tempat mencari. Kita tidak bisa mencari di orang lain punya tempat, nanti jadi masalah”. Saya mencoba untuk memahaminya dalam konteks budaya orang Kamoro di kampung Tipuka. Mereka saling menghargai dan saling menghormati. Setiap keluarga mempunyai lokasi tempat mencarinya, dan itu sudah diakui sebagai warisan leluhur mereka. Saya pun membayangkan kalau seandainya saat ini posisi kami berada di tempat mencarinya orang lain, berarti tidak tahu anak panah akan melayang dari arah mana. Tetapi saya pun tenggelam dalam lamunan jauh, mengapa orang asing Amerika dan Indonesia termasuk para migran terprogram maupun migrant spontan di Timika mengacaukan kebiasaan atau budaya orang-orang Kamoro? Ngeri, rasanya mau gila.

Kami harus membuat pondok kecil beratapkan daun sagu untuk bisa berteduh jika hujan. Beruntunglah hari ini cuaca baik, panas. Tapi siapa yang bisa mengehentikan kehendak alam jika tiba-tiba cuaca berubah jadi hujan? Merry (bukan nama sebenarnya) adalah anak gadis semata wayang bapak Adolof (bukan nama sebenarnya) bersama mama Yohana (bukan nama sebenarnya). Merry tidak sempat melanjutkan niatnya untuk sekolah tinggi. Baginya tamat SMA sudah cukup. Dia tidak mau jauh dari kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia. Selain itu memang kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan untuk menopang dirinya di perguruan tinggi.

Cita-citanya untuk menjadi seorang guru agar bisa kembali mengajar anak-anak Tipuka pun kandas. Sekarang jadi harapan kedua orang tuanya. Setidaknya Merry bisa mendayung perahu, menemani bapak dan mamanya mencari ikan dan kepiting, bahkan menokok sagu untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kadang-kadang Merry membawa hasil tangkapan kepiting untuk dipasarkan di pasar Timika untuk membawa pulang beras, garam, sabun dan kebutuhan lain. Sambil cerita, pondok pun selesai. Alat-alat tangkap dan semua persediaan yang kami bawa masih berada di perahu. “kaka, ada korek api dengan rokok ka? Minta 1 batang rokok”, tanya Merry. “Iya”, kataku sambil membuka tas untuk mengambil rokok dengan korek api. “Ehhh, siapa yang mau merokok, sedangkan bapak tidak merokok, apakah kamu yang merokok Merry?” tanyaku. “Bukan kaka, untuk bapak bikin ritual adat sedikit supaya kita bisa mulai pasang jaring, biasanya kami bilang ereka oto”, jelas Merry. “Ohhh, maaf. Semacam persembahan untuk leluhur atau alam?”, tanyaku. “Yoooo, ko su tau baru tanya lagi, dasaaarrr…..!!”,kata Merry. Bapak menerima rokok dan korek api dari tangan Merry. Selanjutnya dia menghadap posisi matahari. Saya mengamati proses itu. Beberapa kata terucap dari bibir bapak, lalu terlihat membakar rokok itu lalu meletakannya di tanah. Mama dan Merry pun tampak hening. Tentu sebuah untaian doa dan harapan bahwa leluhur mereka dan alam semesta akan menolong usaha kami di hari Sabtu ini. Kami tidak akan pulang kosong. Saya juga yakin dengan ritual sederhana yang baru saja selesai.

Selanjutnya Merry dan mamanya mencari kepiting. Sedangkan saya bersama ayahnya memasang jaring nelon untuk mengurung ikan. Setelah memasang jaring, kami kembali ke pondok. Kami memasang api untuk memanaskan air untuk kopi dan membakar sagu dan pisang yang kami bawa dari rumah. Ya, saya menganggap kegiatan hari ini hanya sekedar ingin tahu bagaimana proses mencari nafkahnya sebuah keluarga nelayan tradisional di kampung Tipuka. Tetapi bagi Merry dan kedua orang tuanya, inilah kehidupan mereka. Merry dan mamanya mencari jauh entah berapa ratus meter jarak dari posisi kami. Sambil menunggu mereka dan juga menunggu saatnya tiba untuk periksa jaring, kami ngopi dulu.

“Anak pegang noken di perahu saja. Nanti bapak yang cek jarring”, kata Bapak Merry. Saya juga mau ikut turun ke air, tapi bapak bilang tidak boleh. Hmmm ternyata baru sekitar 1 jam, tapi noken hampir penuh dengan ikan. Jaring dibiarkan tetap di posisinya, kami membawa ikan ke pondok dan membuat para-para di perapian untuk meletakan ikan sementara waktu agar tidak membusuk, dan juga menghindari sowa-sowa yang bisa saja mencuri ikan-ikan hasil tangkapan. Sementara itu Merry dan mamanya juga sudah kembali membawa banyak kepiting. Sambil menunggu mereka membersihkan kepiting dan mengikat kaki-kaki kepiting itu, saya memanaskan air lagi untuk ngopi sekaligus makan siang.

Sekitar pkl. 15:00, Merry dan bapaknya memeriksa jaring dan sekaligus mengemas jarring ke dalam perahu karena kami sudah harus dayung kembali ke rumah. “Weiii lumayan hasil mencari hari ini. Luar biasa, ternyata ritual tadi tidak sia-sia, leluhur dan alam mengasihi kita”, kataku. Merry dan bapaknya mendayung sambil menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Kamoro, sedangkan saya mendengar cerita dari mama tentang kisah horor Grasberg bagi orang Kamoro di dataran rendah dan orang Amungme di dataran tinggi. “Korban tidak sedikit dari dulu sampai sekarang”, kisahnya.

Sekitar pkl. 17:00 sore itu, kami pun tiba di rumah keluarga Merry di kampung Tipuka. Atas usulan saya, kepiting-kepiting disiapkan untuk dibawa ke pasar Timika. Karena saya ingin mengikuti prosesnya sampai ke pasar, walaupun saya tidak akan ikut ke pasar. Minggu pagi, Merry membawa kepiting-kepiting itu ke pasar, dan habis terjual. Hasilnya, dia membawa pulang 1 karung beras 10 kg, 1 botol minyak goreng, 2 bungkus garam, 1 kg gula pasir, 1 bungkus kopi, 1 kotak teh celup, dan 1 bungkus rinso sedang. Ohhh terikut pula 1 bungkus rokok Djisamsoe kretek untuk saya. Sisanya, ongkos transportasi. Merry pun tutup cerita bahwa harga barang sembako di Timika mahal, “harga selalu naik, tidak pernah turun”.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Catatan Akhir Dari Glasgow


Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebuah proses dari Konferensi Perubahan Iklim Dunia sudah selesai pada 12 Novemver 2021. Glasgow adalah sebuah kota di Skotlandia, Inggris Raya telah menjadi saksi atas pelaksanaan COP26 yang dihadiri 197 negara anggota UNFCCC. Para pimpinan negara sedunia mungkin pulang dengan bangga bahwa masing-masing mereka telah mempresentasikan ambisinya untuk menanggulangi perubahan iklim. Ya, mereka pun tentu bahagia karena bisa bertemu dan berkomunikasi satu sama lain diantara mereka yang mendapat kepercayaan rakyat di negaranya sebagai pemimpin.

Namun tentu tidak demikian bagi gerakan masyarakat sipil dari kalangan CSO dan komunitas masyarakat adat. Bagi mereka, hasil COP26 masih jauh dari harapan. Perubahan iklim dan terutama dampak dari pemanasan global ini sudah seharusnya membutuhkan aksi-aksi nyata, bukan lagi komitmen politik ekonomi perdagangan karbon. Salah satu yang menjadi harapan CSO adalah komitmen tegas dari para pemimpin dunia di COP26 bahwa sudah saatnya berhenti menggunakan energy dari batu bara, dan berhenti mengeksploitasi sumberdaya alam, termasuk perusakan hutan alam.

Akhirnya komitmen Glasgow masih “janji tinggal janji” untuk dibicarakan lagi pada COP berikutnya yang disepakati akan dilaksanakan COP27 di Mesir pada tahun 2022 mendatang. Dinamika politik jauh lebih dominan daripada komitmen nyata untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Memang suhu bumi semakin meningkat, bahkan dampak perubahan iklim itu sudah nyata terjadi hampir di seluruh dunia. Kekeringan, kebanjiran, kelongsoran tanah hingga naiknya permukaan air laut adalah dampak dari perubahan iklim itu. Namun keputusan Glasgow ternyata masih berupa janji-janji yang tidak mengikat.

Terlepas dari semua itu, sejumlah hal penting walaupun masih dianggap sebagai ‘kesepakatan lemah’ menjadi rumusan utama sebagai hasil COP26 di Glasgow. Sedikitnya ada 12 point yang menurut saya penting sebagai acuan untuk dibicarakan lagi pada COP27 di Mesir. Sebanyak 197 negara di Glasgow, Skotlandia telah mengadopsi dokumen yang dikenal sebagai Pakta Iklim Glasgow atau Glasgow Climate Pact. Pakta ini meminta 197 negara untuk melaporkan peningkatan ambisi iklim mereka pada COP27 di Mesir. Meski mengecewakan karena tidak ada hal yang memuaskan dari Glasgow, namun UNFCCC mengklaim bahwa Glasgow Pact justru memperkuat kesepakatan global untuk mempercepat aksi iklim dalam dekade ini.

Ke-12 point ‘kesepakatan lemah’ tersebut adalah: 1) Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use dimana 141 negara (per tanggal 12 November 2021) yang mewakili sekitar 90,94% hutan dunia telah berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030; 2) Secara spesifik para pemimpin dunia berjanji untuk memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan secara internasional maupun domestik yang mendorong pembangunan berkelanjutan, produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan demi keuntungan bersama negara, dan yang tidak mendorong deforestasi dan degradasi lahan; 3) Ada juga janji untuk mengurangi emisi metana, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, di mana lebih dari 100 negara sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada tahun 2030; 4) Sementara itu, lebih dari 40 negara – termasuk pengguna batu bara utama seperti Polandia, Vietnam dan Chili – sepakat untuk beralih dari batu bara, salah satu penghasil emisi CO2 terbesar walau dengan tenggat waktu yang berbeda-beda; 5) Dari sektor swasta, hampir 500 perusahaan jasa keuangan global setuju untuk “menyelaraskan” dana $130 triliun – sekitar 40 persen dari aset keuangan dunia – agar penggunaannya sejalan dengan tujuan yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, termasuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius; 6) Juga, yang mengejutkan bagi banyak orang, Amerika Serikat dan China berjanji untuk meningkatkan kerja sama iklim dalam 10 tahun ke depan. Mereka memgeluarkan deklarasi bersama dan setuju untuk beraksi mengurangi emisi termasuk emisi metana, melakukan transisi ke energi bersih dan dekarbonisasi. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk menjaga target 1.5°C sesuai Persetujuan Paris bisa tercapai; 7) Terkait transportasi hijau, lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk negara, kota, negara bagian, dan perusahaan besar menandatangani Deklarasi Glasgow dimana mereka akan mengakhiri penjualan kendaraan dengan pembakaran internal pada tahun 2035 di pasar utama, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia. Setidaknya 13 negara juga berkomitmen untuk mengakhiri penjualan kendaraan berat berbahan bakar fosil pada tahun 2040; 8) Komitmen yang ‘lebih kecil’ namun sama-sama menginspirasi datang dari 11 negara yang menciptakan Beyond Oil and Gas Alliance (BOGA). Irlandia, Prancis, Denmark, dan Costa Rica, serta beberapa pemerintah daerah, meluncurkan aliansi pertama untuk menetapkan batas akhir (deadline) kegiatan eksplorasi dan ekstraksi minyak dan gas nasional; 9) Terkait adaptasi perubahan iklim, para pihak membentuk program kerja adaptasi global, yang akan mengidentifikasi kebutuhan dan solusi kolektif untuk krisis iklim yang telah merugikan banyak negara. Caranya adalah dengan memperkuat “The Santiago Network” guna mengatasi dan mengelola klausul kerugian dan kerusakan atau loss and damage; 10) Masalah pendanaan dibahas secara ekstensif sepanjang COP26 dan telah tercipta konsensus perlunya untuk terus meningkatkan dukungan pada negara-negara berkembang. Seruan untuk setidaknya menggandakan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim disambut baik oleh para pihak. Komitmen dana mitigasi perubahan iklim meningkat dari USD 129 juta di COP24 di Katowice, Polandia menjadi USD 356 juta di COP26. Walau target pendanaan belum tercapai, COP26 juga menegaskan kembali kewajiban negara maju untuk memenuhi janji mereka memberikan bantuan USD 100 miliar setiap tahun ke negara berkembang; 11) Terkait mitigasi, COP26 mengidentifikasi dengan jelas kesenjangan pengurangan emisi GRK yang belum tercapai dan meminta para pihak bersama-sama bekerja mengurangi kesenjangan itu sehingga bisa membatasi kenaikan suhu rata-rata hingga 1.5°C. Para pihak juga didorong untuk memperkuat aksi pengurangan emisi mereka dan menyelaraskan janji NDC mereka dengan Persetujuan Paris; dan 12) Terakhir, secara teknis, COP26 berhasil menyepakati “Paris Rulebook” yang menjadi dasar pelaksanaan Persetujuan Paris. Di dalamnya tercakup norma-norma mendasar terkait Article 6 atau Pasal 6 tentang pasar karbon, yang akan membuat Perjanjian Paris beroperasi penuh. Article 6 memberikan kepastian dan prediktabilitas – baik pendekatan pasar maupun non-pasar – dalam mendukung aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Negosiasi terkait Kerangka Transparansi yang Disempurnakan atau “Enhanced Transparency Framework” juga telah diselesaikan, sehingga negara bisa memiliki panduan untuk memperhitungkan dan melaporkan target dan emisi.

Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Selebihnya, saya kira sebagai manusia, tentu perlu menyadari bahwa kita adalah bagian dari alam yang sama di planet bumi ini. Kita semua dituntut untuk memperlakukan lingkungan alam di sekitar kita secara adil dan bijaksana. Sebab bencana alam selalu akan datang kapan saja. Kesadaran itu perlu ada dan masing-masing kita dapat melakukan tindakan nyata untuk mencegah sekaligus menyelamatkan diri dari setiap jenis bencana yang timbul sebagai akibat dari perubahan iklim.

Nah bagaimana dengan komitmen dan kesiapan Indonesia sendiri untuk melaksanakan apa yang menjadi komitmennya untuk iklim? Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah mengulas tentang apa yang bisa diharapkan dari Indonesia dalam hal upaya mitigasi dan adaptasi iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC). Yang jelas sehebat apapun ambisi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan diri pada dunia internasional terkait sikap dan peran aktifnya terhadap iklim, tak mungkin mencapai ambisi itu tanpa anggaran (uang). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menyatakan bahwa pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp. 3.461,31 Triliun untuk mitigasi perubahan iklim periode 2020 – 2030.

Kebutuhan pendanaan ini semakin meningkat sebab Roadmap NDC Mitigasi Indonesia pada 2020 estimasinya mencapai Rp.3.799,63 triliun pada 2020-2030. Perinciannya, Rp.3,500 triliun dibutuhkan sektor energi dan transportasi. Diantaranya untuk menjalankan program renewable energy dan pensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Sedangkan sisanya Rp.181,40 Triliun untuk limbah, Rp.93,28 Triliun untuk kehutanan, dan Rp.4,04 triliun untuk pertanian. Ya tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sementara pemerintah sendiri hanya bisa menyiapkan 27 persen dari total kebutuhan anggaran itu, sehingga sisanya diharapkan dukungan dari sector swasta dan dukungan negara-negara maju sesuai Paris Accord.

Salah satu langkah perhatian dari sector swasta dari negara maju untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan NDC adalah Chief Executive Officer (CEO) Forum yang sudah berkomitmen dengan Presiden Jokowi di Glasgow pada 1 November 2021. CEOs Forum Inggris ini berkomitmen untuk menginvest USD 9,29 Miliar di Indonesia. Salah satu investor dari CEOs Forum ini adalah British Petroleum (BP). Bahkan sejauh ini sudah ada USD 35 Miliar investasi yang sudah terkomitmen dan juga sedang berjalan dalam mata rantai baterai dan kendaraan listrik.

Dari sisi kebijakan, Indonesia sudah memiliki aturan berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang instrument nilai ekonomi karbon yang mengatur mekanisme perdagangan karbon. Dengan adanya Perpres ini, justru diharapkan mekanisme pasar karbon dapat dikelola dengan baik. Perpres No. 98 tahun 2021 yang diberlakukan sejak 29 Oktober 2021, atau 2 hari sebelum KTT G20 di Roma, Italia. Bahkan sector swasta di Indonesia pun sudah menjemput bola penyelamatan iklim dengan memanfaatkan peluang kebijakan Perpres 98 tersebut, yakni Melchor Group (PT. Melchor Tiara Pratama) dan Medco Group telah melakukan MoU pengelolaan hutan seluas 180.000 hektar di Tanah Papua. Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Rudi Poespoprodjo selaku Pimpinan Melchor Group dan Hilmi Panigoro selaku Pimpinan Medco Group. Proses MoU ini disaksikan Arifin Panigoro (pendiri Medco Group) dan Peter Gontha (pendiri Melchor Group).

Selain itu, di sektor energi, Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari pembangkit-pembangkit batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan. Pemerintah telah mengidentifikasi ada 5,5 GW PLTU batubara yang bisa masuk dalam proyek ini dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD 25-30 Miliar selama 8 tahun ke depan. Indonesia akan mengalihkan pembangkit batubara dengan renewable energy pada tahun 2040, dengan catatan jika terdapat kerja sama, teknologi, nilai keekonomian yang layak, dan pendanaan internasional yang membantu transisi energi tersebut. Indonesia juga memiliki potensi pengembangan kendaraan dan baterai listrik, karena kekayaan mineral di Indonesia seperti nikel, tembaga dan bauksit/alumunium sangat potensial tersedia. Wowwww, memang Indonesia boleh. Semoga bukan hanya sekedar pemanis sesaat saja di bibir ini. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Indonesia Siap Adaptasi Perubahan Iklim


Saatnya bertindak, bukan lagi bicara-bicara. Diharapkan berbagai inisiatif tergerak oleh kesadaran bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian iklim melalui upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang efektif dan efisien.

Oleh Pietsau Amafnini

Pertemuan bergengsi untuk iklim, UNFCCC-COP26 sudah selesai dilaksanakan di kota Glasgow, Inggris Raya. Ambisiusme negara-negara peserta COP26 untuk penyelamatan iklim pun sudah disampaikan di sana. Setidaknya COP26 di Galsgow kali ini dihadiri hampir 200 pemimpin negara di dunia. Mereka sudah hadir di sana untuk membahas kelanjutan dari Paris Accord tahun 2015 terkait konkritnya upaya-upaya setiap negara dalam rangka mengatasi kenaikan suhu global yang sudah mencapai 2,7 derajat celcius. Dampaknya bisa fatal jika tidak ada upaya untuk menurunkan suhu global ini hingga kenaikannya tak melebihi batas 1,5 derajat celcius. Hal ini merupakan fokus utama dalam COP26, terkait komitmen penurunan emisi karbon dari tiap negara. Agar tidak terkesan, bicara bagus tapi tidak ada tindakan nyata.

Pada COP26 setidaknya menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, tetapi bagi saya ada empat hal yang menjadi dominan. Dari empat hal tersebut, ada tiga hal utama yang penting yakni negara-negara yang berpartisipasi berkomitmen untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik energi batubara secara bertahap; berupaya untuk menjaga suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat celcius; dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam NDC tiap negara pada 2022. Untuk upaya percepatan mitigsi iklim dibutuhkan hal keempat yakni Pendanaan Iklim. Karena tanpa ketersediaan dana yang cukup, maka mitigasi dan adaptasi itu pun hanyalah sebuah rencana ambisius belaka. Nah untuk hal keempat ini sejak Paris Accord disepakati USD100 miliar untuk dana iklim yang dibebankan kepada negara-negara industry maju.

Hal menarik lainnya adalah setiap negara peserta UNFCCC, COP26 diminta untuk mengurangi emisi karbon global sebesar 45 persen pada tahun 2030 untuk mencapai emisi nol karbondioksida dengan cara menghentikan subsidi bahan bakar fosil, terutama batu bara. Transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sangat diperlukan untuk menjaga suhu global. Untuk selanjutnya negara-negara yang kesulitan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dapat membeli stock carbon dari negara yang sudah berhasil mengurangi emisi karbon.

Upaya-upaya penyelamatan iklim terbuka untuk umum. Lembaga publik maupun perusahaan swasta dapat berinvestasi dalam proyek hijau di negara berkembang. Misalnya, berusaha dengan cara mengganti penggunaan batubara dengan energi terbarukan untuk menghasilkan stock carbon credit yang kemudian bisa diperdagangkan kembali di masa depan. Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil kredit karbon ini, asalkan berani menciptakan pasar karbon yang dapat membuka peluang investasi berupa proyek-proyek hijau. Ya, benar juga bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar juga dalam hal perdagangan karbon di dunia.

Indonesia sudah berkomitmen juga di COP26 dengan target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Namun yang terpenting adalah implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Tidak hanya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim demi menjaga suhu bumi, tetapi juga berhenti menggunakan batu bara sebagai energi. Dengan membaharui NDC pada COP26 sebagai dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim, maka Indonesia juga memiliki tanggung jawab terhadap iklim dunia.

Nah, dalam pelaksanaannya, apa yang perlu diperhatikan? Saya kira pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. COP26 menekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara, bahkan masyarakat yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Hal itu berarti peran multistakeholders perlu dilibatkan dalam setiap dan semua proses implementasinya. Perlu keterlibatan dari berbagai komponen, misalnya masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, pengusaha swasta, dan lain sebagainya.

Hasil perundingan dari COP26 menjadi acuan yang diakui secara internasional dan mencakup ketentuan yang menjadi standar untuk menghindari perhitungan ganda. Sistem ini menciptakan mekanisme yang transparan dalam perdagangan karbon khususnya bagi voluntary market.

Secara khusus, pembaharuan terhadap Pasal 6 Paris Agreement di COP26 memberikan alat bagi negara-negara yang membutuhkan paparan terhadap komitmen hijau untuk integritas lingkungan dan membuka jalan untuk mengalirkan modal swasta ke negara-negara berkembang. Aturan pasar karbon memungkinkan negara-negara untuk memfokuskan upaya mereka pada implementasi dari target pengurangan emisi sesuai komitmen NDC.

Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif. Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian dari upaya pemenuhan komitmen NDC. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, walaupun hal ini belum sepenuhnya diterima oleh semua negara peserta COP26. Namun demikian, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang paling siap saat ini untuk menjalankan komitmen NDC-nya, bahwa siap meninggalkan batu bara sebagai energy fosil.

Hal di atas tentu tergerak oleh alasan mendasar bahwa berbagai dampak dan akibat perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya ini sebuah kesadaran akan pentingnya penyelamatan iklim untuk keberlangsungan hidup manusia seutuhnya di dunia, tetapi terlebih bagi masyarakat Indonesia.

Adalah sebuah kemajuan Indonesia dalam rangka mengendalikan perubahan iklim, setidaknya dalam hal kebijakan negara. Pemerintah telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang di dalamnya memuat kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius hingga 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi. Artinya sudah ada dasar hokum yang kuat sebagai acuan utama untuk melaksanakan dan mewujudkan komitmen bersama di tingkat internasional terhadap iklim melalui upaya-upaya di Indonesia. Sehingga bagi saya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan perintah UU No. 16 tahun 2016 ini.

Selanjutnya apakah pengendalian iklim ini akan berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat dan negara? Mungkin saja ada keraguan yang sangat berarti. Tetapi, bahwa karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang akan kontribusi secara nasional. Carbon, selain mempunyai nilai ekonomi yang penting dan memiliki dimensi internasional berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat juga sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sesuai amanat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi menurut saya, nilai ekonomi karbon menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca melalui aksi mitigasi dan adaptasi iklim yang efisien, efektif dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Untuk hal ini, saya mengajak para pembaca SANCAPAPUANA agar membantu pemerintah kita mewujudkan ambisi penyelamatan iklim dunia sesuai komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia di mata dunia Internasional. Lebih dari itu, saya mengajak kita semua untuk melakukan berbagai aksi nyata untuk “Menyelamatkan hutan dan manusia di Tanah Papua” sebagai bagian dari upaya penyelamatan iklim dunia, karena “Hutan Papua adalah yang tersisa untuk Paru-paru Dunia”. Nah ini lebih penting, dan mungkin bukan hanya menjadi ambisi saya, tapi ambisi kita semua untuk Tanah Papua. Sssstttt, katanya jangan banyak brisik. Ayooo Kerja, Kerja, Kerja. Hasilnya nanti bisa dievaluasi sebelum COP27, atau dilihat pada capaian akhirnya pada 2030 dan 2050. Apakah saat itu Hutan Papua masih utuh adanya atau tidak? Tergantung kitorang sendiri juga.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Perubahan Iklim Menuntut Perubahan Perilaku Manusia?


Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir mungkin hal biasa di Indonesia. Tapi baik kebanjiran maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula.

Oleh Pietsau Amafnini

Perubahan iklim sudah menjadi masalah penyebab krisis multidimensi di dunia. Namun apa sebenarnya penyebab perubahan iklim itu sendiri? Perubahan iklim adalah perubahan pola dan intensitas unsure iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Bentuk perubahan berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca. Penyebab utamanya adalah pemanasan global.

Tentu kita pun bertanya apa penyebab pemanasan global itu sendiri? Kita bisa membayangkan kesejukan udara di suatu lokasi permukiman yang berada di lembah maupun gunung yang masih utuh hutann alamnya? Kesejukan itu terjadi karena masih banyak pepohonan di sekitarnya, bahkan lingkungan alam di sekitarnya belum terbuka luas untuk suatu alasan pembangunan yang merusak hutan.

Percepatan pemanasan global merupakan akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi yang mengubah peran dari efek GRK yakni lapisan ozzon yang berfungsi melindungi bumi dari panas matahari. Berikutnya apa yang menjadi penyebabnya? Salah satunya adalah aktivitas manusia juga dapat mengubah iklim bumi dan saat ini mendorong perubahan iklim melalui pemanasan global itu. Contohnya, aktifitas penebangan atau pembukaan hutan alam untuk lahan perkebunan sawit, pengerukan lahan untuk pertambangan batu bara, emas, nikel, tembaga dan lain sebagainya yang merupakan industry ekstraktif. Hal lain juga adalah sumbangan asap dari cerobong pabrik industry-industri besar hingga knalpot kendaraan.

Perubahan iklim akan berdampak pada meningkatnya tinggi permukaan air laut karena gunung-gunung es yang berada di daerah kutub utara dan selatan planet bumi mencair sebagai efek dari pemanasan global. Bahkan bencana alam seperti tanah longsor, kekeringan, banjir bandang hingga mengakibatkan gagal panen pada sector pertanian juga merupakan bagian dari dampak buruk dari perubahan iklim itu. Tidak hanya itu, selain cuaca yang tidak menentu, bisa saja terjadi pergeseran rentang geografis pada bumi, hilangnya pulau-pulai kecil dari bumi, dan kerusakan ekosistem yang sangat mengerikan. Kita bisa membayangkan bagaimana di wilayah kita ada air terjun, tetapi suatu waktu air terjun itu mengalami kekeringan. Bahkan suatu ketika negara-negara kepualauan dan pulau-pulau kecil di Asia Pasifik bisa saja hilang ditelan air lautan samudera yang cenderung naik. Singkatnya, perubahan iklim akan membawa dampak di lautan, daratan dan lapisan udara. Hal ini tentu akan dirasakan oleh baik manusia, hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme.

Mengapa pemanasan global itu terjadi? Mungkin kita sudah mengenal yang namanya efek rumah kaca yang merupakan istilah untuk menggambarkan bumi memiliki caranya sendiri untuk menerima dan melepaskan gas-gas di atmosfir seperti karbondioksida. Penyebab tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir adalah hasil dari perbuatan manusia sendiri. Jadi sebenarnya manusia sendirilah yang menjadi pelaku utama penyebab perubahan iklim yang sudah, sedang dan akan terus menghantui kehidupan di planet bumi ini.

Beberapa ulah manusia yang menjadi penyebab perubahan iklim itu diantaranya: penebangan dan pembakaran hutan dalam skala luas untuk kebutuhan permukiman, perkotaan dan perkebunan atau pertanian skala besar. Padahal pohon sangatlah berguna untuk iklim karena dapat mengubah gas karbon dioksida menjadi oksigen yang bermanfaat untuk kehidupan di bumi. Namun manusia yang oleh karena kebutuhan dan keserakahannya dapat mengubah hutan alam seketika menjadi gundul untuk dijadikan tempat bercocok tanam, termasuk lahan perkebunan sawit yang marak di Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara yang berlebihan pun merusak kualitas udara dan juga dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.

Selain itu tentu pencemaran laut dan industry pertanian skala besar juga dapat menyumbang masalahnya tersendiri pada perubahan iklim. Singkatnya, biasa kerusakan hutan alam itu disebut dengan satu kata kunci “deforestation”. Cerita sederhananya, kerusakan hutan berskala luas dapat menyumbang emisi gas rumah kaca, bumi pun semakin panas. Tapi pertambangan batu bara dan jenis investasi industry ekstraktif serupa juga tentu menyumbang banyak sekali emisi gas rumah kaca. Untuk itulah sudah berkali-kali dalam setiap pertemuan internasional, PBB selalu mengingatkan negara-negara di Asia agar menghentikan kegiatan-kegiatan penambangan dan eksport/import batu bara.

Tambang batu baru merupakan sumberdaya yang banyak digunakan di negara-negara Asia. Selain potensi batu bara memang tinggi di Asia, tetapi penggunaannya sebagai sumber energi juga sangat tinggi. Maklumlah, negara-negara di Asia masih merupakan negara-negara berkembang yang masih mengejar status kemajuan pada sector ekonomi. Akibat dari perkembangan ekonomi yang semakin tinggi dapat memicu pula permintaan batu bara sebagai sumber energi industry jadi melambung tinggi, dan pada akhirnya berdampak buruk pada lingkungan. Sebuat saja di negara Vietnam, sepertiga energinya berasal dari tenaga batu bara. Vietnam bahkan sudah membangun sejumlah pabrik baru yang bakal menggunakan energi bartu bara dan siap beroperasi pada 2050 mendatang.

Sementara Thailand memiliki investasi besar pada bahan bakar fosil. Wilayah pesisir di Asia Tenggara telah mengalami banjir besar dan tingginya air laut akibat perubahan iklim. Sebuah penelitian baru menunjukkan bagwa setidaknya 300 juta orang di seluruh dunia hidup di tempat-tempat yang berpotensi berisiko terendam banjir pada tahun 2050. Hasil ini jauh lebih buruk dibandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Bahkan Jurnal Nature Communication mengabarkan bahwa gelombang badai dan topan akan semakin kuat menghajar Asia ke depan. Hmmm apakah kita perlu menghentikan subsidi untuk bahan bakar fosil? Apakah kita juga perlu menghentikan pembangkit listrik baru berbasis batu bara di masa depan. Ohhh tidak, ini bukan masalah sederhana bagi kita, karena menjadi isu yang sangat sensitive di Asia, di mana sejumlah pembangkit listrik baru berbasis batu bara sedang direncanakan di negara-negara Asia sebagai negara berkembang yang ingin berlomba menuju negara maju dan makmur. Mungkin salah satunya, Indonesia selain Vietnam.

Sebuah laporan dari Climate Central, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di AS mengatakan 190 juta orang akan tinggal di daerah-daerah yang diproyeksikan berada di bawah garis air pasang pada tahun 2100. Laporan ini menyebut enam negara di Asia yakni Cina, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia, dan Thailand terdapat 237 juta orang hidup hari ini akan menghadapi ancaman banjir tahunan pada 2050. Climate Central menjabarkan enam negara dan jumlah penduduk yang berisiko kena banjir pada masa mendatang sebagai berikut. Cina (93 juta orang); Bangladesh (42 juta orang); India (36 juta orang); Vietnam (31 juta orang); Indonesia (23 juta orang); Thailand (12 juta orang). Hmmm kalau sudah seperti ini, apa yang kita pikirkan: meningkatkan emisi atau menurunkan emisi? Melakukan upaya pencegahan atau menunggu saatnya tiba dengan memperkuat barisan Satuan Tanggap Darurat Bencana? Jika bisnis batu bara dan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi tidak dapat dihentikan, maka setidaknya hutan alam, hutan mangrove, lahan gambut jangan sampai dirusaki lagi untuk alasan apapun. Lebih dari itu, hentikan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, dan pembalakan kayu secara liar dan illegal di Indonesia. Saya lebih suka itu.

Nah, dari ulasan di atas dapatlah kita memahami dampak dari perubahan iklim itu sendiri, bahwa terjadinya: 1) peningkatan suhu bumi; 2) perubahan curah hujan; 3) suhu air laut menjadi panas dan naiknya permukaan air laut; 4) pergeseran musim. Bagi saya keempat jenis dampak ini penting diketahui, karena sangat berhubungan dengan kehidupan manusia. Setidaknya beberapa tahun terakhir banyak bencana terjadi hampir merata di seluruh dunia. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan gambut, petani gagal panen, hasil tangkap ikan nelayan menurun, bahkan baik manusia, hewan dan tumbuhan diserang virus penyakit yang mematikan. ohhh, jangan-jangan pandemic virus Corona atau Covid-19 yang saat ini menghantui umat manusia seantero planet bumi adalah bagian dari efek perubahan iklim yang sangat ekstrim? Bisa saja, karena perubahan iklim pun nampak berupa mewabahnya jenis penyakit yang luar biasa pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Pada bagian akhir ini saya tidak ingin capek-capek mencari atau menulis tentang fakta-fakta apa saja yang sudah dan sedang terjadi di lingkungan sekitar kita, di lokasi tempat tinggal kita, atau mungkin di kampung halaman kita, bahkan negara kita dan juga negara-negara tetangga kita. Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula. Namun demikian, keadilan iklim tidaklah berarti banjir dan kemarau dibagi rata. Semestinya Protokol Kyoto dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini. Selebihnya terkait semua rencana ambisius dari COP yang satu ke COP yang lainnya untuk menyelamatkan iklim bumi dari bahaya pemanasan global, saya hanya ingin bilang “biarkan alam memperbaiki dirinya sendiri, daripada manusia banyak rencana tanpa tindakan nyata”. Akhir kata, semoga ada solusi dan tindakan nyata dari COP26 di Kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Antara Ketakutan dan Ambisi Penyelamatan Iklim


Hal yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebagai informasi dan tak bermaksud menggurui para pembaca SANCAPAPUANA. Pada awal ini, saya tidak mengulas terdahulu tentang Perubahan Iklim, tetapi lebih mengedepankan mengapa pentingnya suatu pertemuan tingkat internasional yang disebut COP ini untuk bumi. Sebab bahasan tentang topic Perubahan iklim selalu akan panjang dan melelahkan walaupun sedikit menggiurkan bagi negara-negara berkembang, sekaligus merupakan ketakutan negara-negara maju yang disasar-haruskan untuk bertanggungjawab terhadap dampak perubahan iklim itu. Hmmm nyeri juga ya. Untuk itulah, maka pentinglah pertemuan internasional termaksud.

Secara singkat saya akan menjelaskan tentang apa itu COP26, mengapa penting dan apa saja hasil yang diharapkan dari pertemuan yang hari ini tepat 01 November 2021 diselenggarakan di kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Pertemuan ini akan berlangsung hingga 12 November 2021. Hmmm pasti penasaran, tentang siapa saja yang akan hadir di sana dan kira-kira apa yang menjadi pertaruhan di sana? Adakah kepentingan politik tertentu dari masing-masing negara yang hadir di sana? Pasti seru, karena kali ini rencananya dihadiri 197 negara, jauh lebih berkembang dari COP1 yang hanya dihadiri 46 negara. Semoga jumlah negara terlibat semakin naik, itu lebih baik daripada berkurang hanya karena alasan Corona, atau separahnya ingin “Cuci Tangan” dari beban tanggung jawab atas komitmen Paris Accord yang akan menjadi materi utama evaluasi kemajuan dan kegagalan pelaksanaannya pada moment COP26 di Glasgow.

COP adalah singkatan dari Conference of the Parties atau dalam sebutan melayu khas Indonesia, Pertemuan Para Pihak. COP adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi negara-negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk berbicara, bersepakat dan bertindak bersama terkait Perubahan Iklim (Climate Change). COP tahun 2021 ini dihadiri 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya. COP26 ini merupakan bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Perubahan Iklim, yakni Perjanjian Internasioanl yang ditandatangani setiap negara berdaulat dan negara territorial di dunia yang bertujuan membatasi dampak aktivitas manusia atas iklim. Konvensi PBB untuk Penyelamatan Iklim Dunia ini disepakati dan diberlakukan sejak 21 Maret 1994. Artinya sejak saat itu, sekarang COP26 masih merupakan lanjutan dari ke-25 COP sebelumnya. Hasilnya sejauh ini? Ya, masih dalam proses bicara-bicara, masih dalam tahap rencana, belum sampai tindakan nyata.

Konferensi ini dilaksanakan pada 2 hari setelah pelaksanaan KTT  negara-negara G20 di Roma, Italia yang menjadi tuan rumah KTT G20 pada 30 – 31 Oktober 2021 dan selanjutnya menunjuk Indonesia menjadi Presiden G20 yang akan menjadi tuan rumah KTT G20 tahun 2022 di Bali, Indonesia. Namun demikian, marilah kita menelusuri lebih lanjut tentang COP26 karena toh topic yang menjadi pembicaraan hangat antara para Kepala Negara sedunia itu masih seputar Perubahan Iklim dan Strategi Penyelamatan Iklim.

Mai kita kembali ke Glasgow yang merupakan kota terbesar di Skotlandia, Inggris Raya itu, tempat dimana COP26 – UNFCCC dilaksanakan. Pertanyaannya sederhana saja. Seberapa pentingkah COP26, atau emangnya penting  (epen) ka? Maybe yes, maybe no. Tetapi sebagai aktivis lingkungan hidup dan kemanusiaan yang sudah sejak tahun 2007 dan 2008 dimana saya serius mengikuti berbagai workshop hingga konferensi UNFCCC pada COP19, saya menjadi tertarik bahwa sangat penting untuk penyelamatan iklim di planet bumi ini, tetapi lebih dari itu yang terpenting adalah keadilan Iklim untuk kelestarian lingkungan hidup dan kesehjahteraan manusia.

COP26 ini akan menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama dimana para peserta akan mengevaluasi baik kemajuan yang telah dilakukan maupun kegagalan yang dihadapi dalam proses implementasinya sejak Persetujuan Iklim Paris COP21 ditandatangani pada tahun 2015. Perjanjian itu, yang juga dikenal sebagai Paris Accord, pada dasarnya adalah rencana kemanusiaan untuk menghindari bencana iklim. Kesepakatan ini menyatakan bila pemanasan global terus naik melampaui 1,5 derajat celcius di atas suhu yang pernah dialami di era praindustri, maka banyak perubahan di planet ini yang tidak dapat dihindarkan lagi. Maka rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan untuk itulah fungsinya COP26 dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi kemajuan dan kegagalannya.

Sebagai informasi, Paris Accord 2015 pada COP21 memuat target-target utama bagi semua negara untuk menghindari bencana perubahan iklim. Semua negara yang terlibat berjanji untuk 1) Mengurangi gas rumah kaca; 2) Meningkatkan produksi energi yang dapat diperbarui; 3) Mempertahankan tingkat suhu global agar kenaikannya tidak sampai dua derajat celcius dan kenaikan idealnya maksimal 1,5 derajat celcius; 4) Berkomitmen menyisihkan miliaran dolar untuk membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim. Kesepakatan Paris itu juga menyetujui bahwa setiap lima tahun harus ada evaluasi atas kemajuan yang telah dibuat. Maka, sebenarnya evaluasi pertama atau COP26 sedianya diselenggarakan pada 2020, namun ditunda hingga 2021 ini karena pandemi COVID-19. Hmmm Corona, corona. Maksud hati menghindari dampak perubahan iklim, ehhhh ternyata ketemu Corona. Ini menarik bahwa akhirnya kita semua perlu sadar bahwa mungkin Corona lebih berbahaya dari Climate, tetapi bagi saya keduanya sama pentingnya.

Hehee mau lawan Corona ka? Pandemi COVID-19 ini ternyata dapat mengubah banyak hal dalam jangka waktu yang sesangat-sangat singkat. Wabah yang mendunia ini membawa perubahan besar, karena paling tidak sudah menunda pertemuan COP selama setahun. Namun, ada hikmahnya bahwa Covid ternyata memunculkan peluang yang tidak diperkirakan sebelumnya untuk berpikir ulang terkait pemulihan ekonomi pada pasca-pandemi. Sederhananya kita pun dapat bertanya pada diri sendiri. Apakah bekerja memang harus di kantor atau bisa bekerja dari rumah? APakah pertemuan-pertemuan memang harus berkerumun di hotel-hotel secara tatap muka? Apakah belajar memang harus ke sekolah atau kampus untuk belajar-mengajar secara tatap muka, atau bisa dari rumah? Apakah berdoa itu memang harus ke rumah ibadah, atau bisa berdoa sendiri atau bersama keluarga di rumah sendiri? Apakah belanja kebutuhan hidup harian memang harus ke pasar, took dan supermarket? Apakah kesibukan itu nampak dari sering terbang dengan pesawat, sering berlayar dengan kapal laut dan berdesakan di kereta api? Nah jika bisa bekerja, belajar dan beribadah bahkan berbelanja dari rumah, kenapa tidak bisa beradaptasi dengan perubahan yang diciptakan sebagai efek dari Pandemi Corona? Jika boleh dan bisa beradaptasi, maka itulah peradaban baru di zaman milenial ini. Tinggal caranya adalah semua hal berbasis ONLINE.

Hal menarik adalah Corona berhasil mengubah pikiran salah satu negara anggota COP, yakni Amerika Serikat dimana Presiden Donal Trump pada saat COP25 menarik diri dari Perjanjian Paris atau Paris Accord. Ternyata Presiden AS yang baru ini memang berbeda dengan pendahulunya yang membuat AS menarik diri dari Perjanjian Paris. Presiden Joe Biden justru menempatkan kebijakan-kebijakan ramah iklim sebagai prioritas utama dalam rencananya memulihkan ekonomi AS dari pandemi. Joe Biden memang hebat dan tentu masyarakat dunia dan lebih khusus masyarakat Amerika Serikat serta negara-negara COP26 sangat mengharapkan kehadirannya. Sebab, saat bertemu di COP26, para pemimpin dunia ini diharapkan membuat target-target baru jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim dan semuanya itu harus ambisius dan tegas untuk keadilan iklim dan kemanusiaan.

Tentu saja ada banyak harapan, tetapi pelaksanaannya juga tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih ada banyak isu yang belum terpecahkan dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi sebelumnya, seperti COP25 di Madrid, Spanyol. Masih kental dalam ingatan saya ketika menyaksikan seorang aktivis muda asal Swedia bernama Greta Thunberg, ketika menyampaikan pidato yang berapi-api saat itu. Greta memperingatkan para pemimpin dunia bila tetap berpangku tangan dan mengabaikan bukti ilmiah akan bahaya perubahan iklim. Saat itu Greta seakan menghipnotis masyarakat dunia hingga merinding. Namun, tetap saja peringatan itu pun terkesan tidak berpengaruh terhadap kesepakatan-kesepakatan konferensi penting itu. Padal pernyataan Greta itu penting dan justru yang diharapkan untuk dijadikan solusi, dimana negara-negara miskin termasuk yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim harus mendapat perhatian dari negara-negara maju sebagai tanggung jawab. Tidak hanya itu, perubahan iklim pun berdampak pada naiknya permukaan laut secara perlahan menenggelamkan negara-negara kepulauan, menyebabkan kekeringan dan gelombang panas yang membuat petani gagal panen hingga menguatnya angka kelaparan, kemiskinan dan kematian.

Setidaknya saat jelang COP26, lebih dari 100 negara berkembang sudah memaparkan sejumlah tuntutan, bahwa 1) Pendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim; 2) Kompensasi dari negara-negara maju atas dampak yang akan menimpa negara-negara berkembang; dan 3) Uang dari negara-negara maju untuk membantu masyarakat negara berkembang dapat  menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Ssssttt, ceritanya Indonesia bukan lagi negara berkembang brooo, sudah naik status menjadi negara maju.

Selanjutnya, hanya sebuah pikiran nakal. Coba kita membayangkan bila Indonesia juga termasuk kelompok negara maju? Ohhh ya, benar juga. Bukankah Indonesia sudah meningkat statusnya dari Negara Berkembang menjadi Negara Maju pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini? Ya, suka atau tidak, terima atau tidak, yang jelas status itu sudah berubah. Negara maju tak selamanya atau tak seharusnya semua masyarakatnya makmur ‘kan? Anda bayangkan penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 271 juta jiwa. Toh belum tentu 330 juta jiwa masyarakat Amerika Serikat juga semua hidup makmur. Ini NKRI, maju – mundur itu soal biasa, kedisiplinan waktu saja masih “jam karet”. Namun perlulah kita berbangga saat ini, karena Indonesia menjadi salah satu negara kepulauan di Asia yang diperhitungkan pula oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika.

Nah konsekuensi dari ‘negara maju’ dalam hal penanganan masalah dampak perubahan iklim ini adalah bersama-sama berkomitmen menyediakan $100miliar per-tahun mulai 2020 untuk melaksanakan Paris Accord. Namun kenyataannya hingga 2021 ini, katanya baru terkumpul $79 miliar, dan sebagian besar berupa utang, bukan hibah. Hmmm lagi-lagi utang,  yang artinya nanti harus dikembalikan kepada pemilik modalnya. Weiiii, topic ‘keuangan iklim” ini saya kira akan menarik jadi perdebatan hebat. Pasti ada hitung-hitungan soal “Untung – Rugi” di sini, dan negara pemilik modal siapa yang mau rugi? Bill Gates, Raja Microsoft pemilik kekayaan 136,1 Miliar USD per 2021 yang hadir di COP26 ini pun pasti geleng-geleng kepala kalau uangnya tidak kembali dengan keuntungan yang adil baginya. Point ini menarik bagi saya untuk ikut memainkan peran sebagai pemantau ‘keuangan iklim’ di negara Indonesia yang masih subur  ‘budaya korupsi’. Jangan-jangan nanti dana iklim dari uang utang itu habis menguap seperti karbon juga.

Hal lain yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Carbon Trade ini adalah mekanisme yang membuat penghasil polusi untuk membayar emisi dan mereka yang menerapkan ekonomi hijau untuk menjual ‘kredit karbon’. Ok, kedengarannya cukuplah adil. Namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kalau negara-negara maju hanya mau membayar lisensi untuk menghasilkan polusi ketimbang mau menerapkan perubahan nyata? Lantas siapakah yang berhak memutuskan berapa banyak yang harus dibayar oleh suatu negara atas emisi yang dibuatnya dengan menggundulkan sebidang hutan untuk sebuah investasi? Hmmm, macam semakin seru untuk mengkritisi masalah ini. Tapi tahan-tahan perasaan saja dulu, karena ini baru hari pertama suasana COP26.

Marilah kita berpikir positif saja, walaupun hati menolak. Saya membayangkan bahkan bila pertemuan di Glasgow nanti berhasil untuk menyepakati semua hal itu, untuk memastikan semua pihak berada pada visi yang sama, maka kita butuh jangka waktu tak tentu bagi semua target ramah lingkungan yang dibuat dalam rangka implementasi Paris Accord. Betapa rumitnya, tak semudah merusak hutan alam atas nama pembangunan dan pengembangan investasi perkebunan skala besar di Indonesia. Namun demikian, COP26 menjadi moment penting untuk membahas hal-hal baru setelah mendapatkan informasi kemajuan dan kegagalan sejauh ini. Sebagaimana tekad bersama semua negara dalam dokumen Paris Accord, yang menjadi prioritas utama adalah memastikan semua negara untuk berkomitmen mencapai nol emisi pada 2050, dengan pengurangan karbon yang lebih agresif dan pesat pada 2030.

Dari berbagai media, dikabarkan bahwa dalam diskusi selama berlangsungnya COP26 Glasgow, diharapkan akan ada solusi-solusi berbasis alam, karena hukum alam pun mengajarkan kepada umat manusia bahwa pada akhirnya Alam akan memperbaiki dirinya sendiri dengan cara dan kekuatannya sendiri. Hmmmm, apa artinya ini? Alam yang dirusak oleh manusia, belum tentu berhasil diperbaiki oleh manusia. Sehingga COP26 diharapkan supaya mengandalkan alam itu sendiri untuk mengatasi tantangan-tantangan iklim. Misalnya, penyerapan karbon atau menanam pohon untuk berlindung dari kejadian cuaca ekstrem seperti banjir bandang, badai pasir dan menurunnya tingkat mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub utara dan selatan bumi yang menyebabkan naiknya air laut. Sejumlah inisiatif juga diperkirakan akan dibuat untuk mengatasi tantangan-tantangan yang spesifik seperti menghapus penggunaan batu bara dan menjaga ekosistem.

Hmmm, saya justru mengharapkan kehadiran Greta Thunberg untuk kembali berteriak di COP26, tetapi dikabarkan justru para pemimpin negara sedunia itu hanya mengharapkan jika Paus Fransiskus sebagai Kepala Negara Vatican bisa hadir pada kesempatan khusus di Glasgow. Pada akhirnya dari Hutan Terakhir Tanah Papua, Surga Kecil yang jatuh ke Bumi dengan Hutan Tropisnya yang unik dan alami sehingga dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, saya mengucapkan selamat bersilat lidah di forum bergengsi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada COP26 tahun 2021 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Harapan saya, semoga Hutan Mangrove dan Lahan Gambut di wilayah kerja LNG Tangguh – British Petroleum (BP) Indonesia di Teluk Bintuni, Papua Barat tetap utuh dan alami seperti sediakalanya. Biar gas alam cairnya habis tidak masalah, yang penting hutannya tetap utuh untuk tetap jamin keadilan iklimnya. Weiii, trus manusianya? Pasti sudah dipikirkan, karena keberadaan BP/LNG Tangguh diharuskan menghormati hak-hak masyarakat adat, dan katanya tergolong proyek investasi Ramah Lingkungan seramah-ramahnya Ratu Elizabeth. Ya, itu tentu menjadi tanggung jawab pula dari Negara Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, yang terhitung 01 November 2021 hingga 31 Oktober 2022 menjadi Pemimpin Negara-negara G20. Semoga kami tidak terjebak dalam suasana “latihan lain, main lain” dengan mitigasi tipu-tipu tentang perubahan iklim dan solusi-solusinya di Kota Glasgow. Salam sehat dan lestari di musim Corona.***Koordinator JASOIL Tanah Papua